Minggu, November 28, 2010

Eksistensi Sasi di Maluku

Jauh sebelum orang-orang secara global membahas pentingnya pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, masyarakat Maluku sudah menerapkannya sejak lama. Melalui hukum adat sasi yang diwariskan turun-temurun dari leluhur, orang Maluku dengan sendirinya telah menjaga kelestarian lingkungan.Konon sasi telah diberlakukan sejak tahun 1600an.
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Oleh karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi pada hakekatnya juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat.
Salah satu bentuk sasi yang paling menarik dan paling unik di Maluku adalah sasi ikan lompa dari Pulau Haruku.Jenis sasi ini hanya terdapat di Pulau Haruku. Lebih unik lagi karena sasi ini sekaligus merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali.

Setelah ikan lompa yang dilindungi cukup besar dan siap untuk dipanen (sekitar 5-7 bulan setelah terlihat pertama kali),maka serangkaian upacara adat pun dilakukan, seperti makan patita dan kemudian membakar api unggun di muara kali Learisa Kayeli dengan tujuan untuk memancing ikan ikan lompa lebih dini masuk ke dalam kali sesuai dengan perhitungan pasang air laut. Biasanya, tidak lama kemudian, gerombolan ikan lompa pun segera berbondong-bondong masuk ke dalam kali. Pada saat itu, masyarakat sudah siap memasang bentangan di muara agar pada saat air surut ikan-ikan itu tidak dapat lagi keluar ke laut.


Tepat pada saat air mulai surut, pemukulan tipa pertama dilakukan sebagai tanda bagi para warga, tua-muda, kecil-besar, semuanya bersiap-siap menuju ke kali. Tifa kedua dibunyikan sebagai tanda semua warga segera menuju ke kali. Tifa ketiga kemudian menyusul ditabuh sebagai tanda bahwa Raja, para Saniri Negeri, juga Pendeta, sudah menuju ke kali dan masyarakat harus mengambil tempatnya masing-masing di tepi kali.


Memang sasi sangat berperan untuk mengatasi degradasi lingkungan seperti di Pulau Haruku. Namun Perusakan lingkungan (habitat) terumbu karang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab semakin gencar dilakukan. Walaupun masyarakat telah mengupayakan berbagai langkah, namun semua itu bagai membuang garam di laut. Alhasil, mungkinkah rakyat kecil yang sederhana dan awam ini tidak mampu menembusi dinding-dinding birokrasi ? Entahlah..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar